Revisi Undang Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tengah menjadi perbincangan publik. Jika jadi disahkan, RUU MK akan menjadi perubahan keempat atas ketentuan mengenai peradilan konstitusi itu. Kemudian, pada era kepemimpinan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilakukan revisi pertama UU MK, yang menghasilkan UU Nomor Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU 24 Tahun 2003.
Dua tahun berikutnya SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) tentang MK, yang kemudian disetujui DPR. Selanjutnya, terbit UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi Undang Undang. Kembali direvisi pada 2020 silam, terbit UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada 28 September 2020.
Ledakan Keras di Pusat Tel Aviv, Belasan Tentara Israel Roboh Dalam Sehari di Front Gaza Lebanon Halaman 4 Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 72 73 Kurikulum Merdeka, Kegiatan 3: Unsur Cerpen Halaman 4 Gugat UU Pilkada ke MK, Nasib Gubernur Kalsel Diputuskan di Rapat Permusyarakat Hakim Banjarmasinpost.co.id
Kunci Jawaban PAI Kelas 10 Halaman 117 119 Kurikulum Merdeka: Penilaian Pengetahuan Bab 4 Halaman all Kunci Jawaban PAI Kelas 11 Halaman 132 133 134 Kurikulum Merdeka: Penilaian Pengetahuan Bab 4 Halaman all Hakim MK periode 2014 2024 Wahiduddin Adams menyoroti UU Mahkamah Konstitusi yang kerap diubah, tetapi tidak pernah diganti. Terlebih, jika perubahan keempat UU MK jadi disahkan DPR.
"Terkait ini kan perubahan keempat dari UU MK. Ciri khasnya itu semuanya perubahan, tidak berujung diganti," kata Wahiduddin Adams, dalam diskusi publik bertajuk "Sembunyi Sembunyi Revisi UU MK Lagi" yang digelar secara daring, pada Kamis (16/5/2024). "Ini sudah keempat kali ya. Rasa rasanya tidak banyak atau mungkin baru kali ini ada nanti jadi 'UU Perubahan Keempat'. Terlepas sebanarnya yang diubah itu sedikit sedikit ya," tambahnya. Ia menjelaskan penamaan UU yang berkelanjutan sempat berlangsung pada zaman Orde Baru.
"Ada UU Pemilihan Umum Legislatif itu biasanya ya nomornya dipatok nomor 15 tahun 69, tahun 70. Setiap berapa tahun itu sampai perubahan kesembilan itu nomornya 15 ya," katanya. Lebih lanjut, Wahid menilai dalam empat kali perubahan UU MK itu, prosesnya terkesan selalu reaksioner ketimbang terencana dengan niat baik. "Misalnya, saat perubahan UU 8/2011, karena waktu itu sudah ultrapetita, usia naik dari 40 menjadi 47," ujarnya.
Kemudian, ketika Perppu 1/2013, diterbitkan setelah terjadinya kasus korupsi yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar. "Dan ada satu hal yang ini saya kira reaktif juga, bahwa seorang calon hakim MK itu sudah tidak menjadi anggota parpol 7 tahun. Ini 7 tahun siapa yang disasar ini kan. Apa maksudnya gitu ya. Jadi saya mengatakan ini reaktif ya emosional ya," ungkapnya. Kemudian, terbitnya UU 7/2020, kata Wahid, karena terkait masalah usia hakim dan masa jabatan.
"Ini menunjukkan bawa hampir semua perubahan itu ya reaksioner," ucapnya. Terkait rentetan sejarah panjang UU MK itu, Wahid juga menyoroti sistem dan perilaku politik pemerintah. "Kadang kadang ini maunya presiden lalu menjadi inisiatif DPR. Dan kalau kita lihat DPR selalu lemah kalau berhadapan dengan Perppu," katanya.
Oleh karena itu, menurutnya, perilaku agresif dari eksekutif dan legislatif tersebut harus menjadi catatan MK.